Powered By Blogger

Wednesday, May 16, 2012

Taubat Abi Mihjan At-Tsaqafi:

بِسْــــمِ اﷲِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

KETIKA Islam diturunkan oleh Allah SWT, keadaan masyarakat Arab pada waktu itu telah berada pada keruntuhan sosial secara total. Kehidupan jahiliyah dan penyembahan berhala telah berhasil menghilangkan ajaran-ajaran Rasul Allah yang terdahulu. Seakan-akan sudah tidak lagi cahaya walau sedikit pun, yang dapat menerangi kehidupan mereka yang begitu kelam. 
 
Kehidupan mereka selalu diisi oleh moral yang buruk seperti minum khamr, pelacuran, merampas harta orang dengan cara batil, serta membunuh orang secara zalim dan segala perbuatan keji lainnya. Ja’far bin Abi Thalib sendiri menggambarkan krisis moral yang melanda bangsa Quraisy di masa jahiliyah di hadapan raja Najasyi, sebagai berikut, “Wahai raja, ketika kami masih hidup di zaman jahiliyah kami menyembah patung, senantiasa memakan bangkai, senang barang keji, kami putuskan tali kekeluargaan dan hubungan baik dengan tetangga dan kami selalu memusuhi orang yang lemah.”

Kemusyrikan dan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut telah menjadi budaya dan adat-istiadat selama berabad-abad, sehingga menjadi tradisi yang sulit dirombak. Akibatnya ketika seruan Nabi s.a.w. yang mengajak kepada ketauhidan dan akhlakul karimah dikumandangkan, tentangan-tentangan yang besar dan berat menghadang dengan dahsyatnya. Untuk merevolusi masyarakat yang demikian, tentunya memerlukan usaha dan pengorbanan yang besar serta proses waktu yang tidak sebentar.

Namun demikianlah kekuasaan Allah SWT telah membalikkan semuanya menuju cahaya Islam yang terang-benderang. Sedikit demi sedikit Nabi kemudian menanamkan aturan-aturan syariat Islam. Perbuatan zina yang dahulu menjadi tren, kini diharamkan dengan hukuman rajam. Minum khamr atau yang memabukkan lainnya pun diharamkan setelah melalui beberapa tahap, juga aturan-aturan lainnya.

Tentunya, aturan-aturan itu berlaku bagi semua orang tanpa pilih kasih, dan demikian halnya yang terjadi pada diri Abu Mihjan at-Tsaqafi. Sebelum masuk Islam, ia termasuk dari mereka yang dalam kehidupannya selalu mabuk, yakni minum khamr. Ketika Abu Mihjan mengikrarkan dirinya dengan menyatakan dua kalimah syahadah, ia masih sukar meninggalkan kebiasaannya yang buruk itu.

Abu Mihjan sendiri sebenarnya telah menyedari akan hal itu. Akan tetapi bagaimana pun kebiasaan buruk itu masih membayangi dirinya. Akibatnya berulang kali Abu Mihjan dikenakan hudud. Agama Islam memang sangat tegas dalam memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar ketentuan. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam masyarakat.

Sampai akhirnya suatu ketika, Abu Mihjan ini dihukum penjara akibat perbuatan yang sama. Ia dipenjara oleh panglima Sa'ad bin Abi Waqqas, seorang sahabat yang gagah berani, muttaqin, shalih dan seringkali dipercaya Nabi untuk memimpin peperangan.

Ketika Abu Mihjan masih menjalani hukumannya di penjara, maka terjadilah perang Qadisiyyah antara tentera Islam melawan tentera kafir Parsi yang diketuai oleh panglima Rostum. Panglima Sa'ad bin Abi Waqqas pun pergi ke medan peperangan memimpin tentera Islam. Peperangan ini berlangsung dengan sangat sengitnya. Namun memang kekuatan kedua belah pihak sangat tidak berimbang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit, semakin lama semakin tersepit dan terkepung. Khabar tentang terkepungnya kaum Muslimin ini pun tersebar, tidak terkecuali juga sampai ke pengetahuan Abu Mihjan at-Tsaqafi.

Abu Mihjan yang merasa dirinya telah banyak berbuat dosa, berkeinginan menebusnya dengan berbuat kebajikan. Kemudian Abu Mihjan mengirim surat kepada isteri Sa'ad yang isinya minta agar dibebaskan sekadar diperbolehkan untuk ikut berperang dan nanti dia akan kembali ke penjara itu segera.

Isteri Sa'ad yang menerima surat itu segera mendatangi tahanan Abu Mihjan. Ia meminta penjelasan kepada Abu Mihjan tentang maksud dan pernyataannya itu. Setelah melihat kesungguhan dan tekad Abu Mihjan, ia meminta sumpah Abu Mihjan dan membebaskannya. Abu Mihjan pun berjanji, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain daripada-Nya, saya tidak akan lari.”

Setelah itu Abu Mihjan maju ke depan medan pertempuran dengan naik kuda dan pedang yang terhunus. Abu Mihjan bertempur tanpa ada rasa gentar sedikit pun. Di dalam benaknya tidak ada tujuan lain selain syahid. Akhrinya dalam peperangan itu Abu Mihjan berhasil mengkucar-kacirkan musuh hingga Allah memberikan kemenangan pada kaum Muslimin.

Setelah peperangan selesai, Abu Mihjan segera menepati janjinya. Ia kembali ke penjara dan seketika itu juga mengikat kakinya seperti sediakala. Dengan begitu, siapa pun pasti tidak akan menyangkanya bila ia baru saja dibebaskan.

Sewaktu Sa'ad kembali ke rumah dia ditanya oleh isterinya, “Bagaimanakah keadaan peperangan hari ini?”

“Semula jalannya peperangan kaum Muslimin tersepit oleh pasukan musuh. Namun Allah mengutus seorang yang serupa dengan Abu Mihjan. Demi Allah jika saya tidak menahan Abu Mihjan pasti kusangka Abu Mihjan ikut berperang. Dan orang itu mengkucar-kacirkan barisan musuh sampai mereka mendapatkan kekalahan.”

Isteri Sa'ad yang mendengar jawaban dari suaminya itu hanya tersenyum. Ia selanjutnya menceritakan dengan sebenarnya kejadian Abu Mihjan yang telah dipenjarakannya itu. Sa'ad yang mendapat keterangan dari isterinya ini pun kagum dan tidak mampu menyembunyikan rasa terharunya.

Tapa berpikir panjang, dia terus menuju ke tahanan Abu Mihjan. Setelah Sa'ad memberitahukan penjelasan isterinya dan Abu Mihjan mengakuinya, Sa'ad membebaskan tahanannya itu.

Abu Mihjan juga berjanji, “Aku tidak akan minum khamr lagi.” Pahlawan perang Qadisiyyah itu menepati janjinya selamanya.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...